NUSA TENGGARA TIMUR – Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan meminta para pemuka agama untuk bekerja sama menangani pandemi COVID-19, mengingat banyak orang yang tidak percaya dengan adanya virus corona SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19.
22 Persen Warga Indonesia Tak Percaya Ada COVID-19
BACA JUGA:
Saat menjadi pembicara di acara Mandiri Investment Forum, Rabu 3 Februari, Luhut menyebut, ada 22 persen orang Indonesia yang tidak percaya COVID-19.
“Dari data kami, sekitar 22 persen orang mereka tidak mempercayai COVID-19," ucap Luhut.
Padahal, jika mengacu pada data Kementerian Kesehatan per tanggal 2 Februari, total kasus kumulatif di Indonesia berjumlah 1.099.687 orang sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret. Sedangkan, kasus positif baru per hari itu mencapai 10.379 orang. Kasus konfirmasi positif yang meninggal bertambah 304 orang dan totalnya 30.581 orang.
Menurut Luhut, jumlah orang yang tidak percaya dengan ancaman COVID-19 bisa saja lebih 22 persen atau bahkan mencapai 40 persen. Untuk itu, pemerintah dan otoritas terkait pun kini tengah memperketat beragam prosedur dan program untuk meningkatkan kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.
BACA JUGA:
"Kemenag juga terlibat sekarang. Jadi semua pesantren, semua pimpinan agama dan entah itu Muslim, Kristen, Buddha harus bekerja sama bahwa hal ini harus kita tangani karena ini ancaman yang nyata terutama dengan varian yang baru," jelasnya.
Pemerintah, kata Luhut, tidak tinggal diam dengan keadaan yang terjadi saat ini. Apalagi, COVID-19 juga menyebabkan dampak negatif pada perekonomian Indonesia. Menurut dia, ekonomi akan sulit untuk pulih kalau pandemi masih ada di Indonesia.
"Pemulihan aktivitas ekonomi tergantung pada bagaimana kita menangani COVID-19. Menurut saya ini target yang penting untuk pemerintah Indonesia bagaimana kita bisa menangani dan tapi kita tetap bisa menggerakkan perekonomian," jelasnya.
Selain informasi seputar COVID-19, ikuti berita dalam dan luar negeri hanya di VOI. Waktunya Merevolusi Pemberitaan