Bagikan:

JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian membuka peluang untuk merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).

Wacana ini mencuat sebagai respons atas meningkatnya kasus penyimpangan dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan di Indonesia, yang dinilai mulai keluar dari tujuan awal sebagai wadah aspirasi masyarakat sipil.

Tito menyampaikan bahwa peran ormas sebagai bagian dari sistem demokrasi perlu terus dijaga, namun dalam praktiknya, tak sedikit ormas yang menjelma menjadi kelompok dengan kecenderungan koersif, bahkan melakukan kekerasan secara terang-terangan.

“Kita lihat banyak sekali peristiwa ormas yang kebablasan. Mungkin perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat. Di antaranya, mungkin masalah keuangan, audit keuangan,” kata Tito, dikutip dari ANTARA, Jumat, 25 April.

Menurutnya, Undang-Undang Ormas yang disusun pascareformasi 1998 dibuat dalam semangat demokratisasi, untuk menjamin kebebasan berkumpul dan berserikat.

Namun dalam perjalanannya, kebebasan ini justru mulai disalahgunakan oleh segelintir pihak. Sejumlah organisasi yang sebelumnya aktif dalam kegiatan sosial dan advokasi, kini justru beralih fungsi menjadi kelompok tekanan, bahkan berperilaku layaknya aparat sendiri di tengah masyarakat.

Salah satu aspek penting yang menjadi sorotan Tito adalah lemahnya pengawasan terhadap ormas, terutama dalam hal transparansi dana dan pertanggungjawaban keuangan.

Ia menilai bahwa ketidakjelasan aliran dana di banyak ormas membuka peluang penyalahgunaan dana publik atau kontribusi anggota yang digunakan untuk aktivitas di luar kepentingan sosial masyarakat.

“Ketika dana ormas tidak diaudit dan tidak transparan, ini berpotensi diselewengkan untuk agenda kekuasaan, termasuk kekerasan dan pemerasan. Kalau sistematis dan ada perintah organisasi, itu bisa dikategorikan pidana korporasi,” tegas Tito.

Ia menambahkan, saat ini belum ada instrumen hukum yang cukup kuat untuk mengaudit dan menindak ormas secara menyeluruh ketika melanggar batas hukum. Maka dari itu, revisi UU Ormas dinilai penting untuk mengatur ulang batas tanggung jawab organisasi dan memperketat regulasi pengawasan.

Pernyataan Mendagri ini muncul seiring dengan meningkatnya sorotan publik terhadap keterlibatan ormas dalam aksi-aksi kekerasan baru-baru ini. Setidaknya, dua peristiwa dalam beberapa pekan terakhir menjadi pemicu diskusi tentang perlunya pengawasan dan reformasi terhadap ormas.

Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno mengungkapkan bahwa pembangunan pabrik mobil listrik BYD di Subang sempat terganggu oleh sejumlah oknum ormas. Gangguan ini dikabarkan terkait dengan tuntutan sepihak dari kelompok tertentu, yang mencoba memaksa keterlibatan dalam proyek tanpa prosedur resmi.

Insiden kedua terjadi di Jakarta, ketika empat anggota organisasi Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya melakukan pembakaran terhadap mobil patroli polisi.

Peristiwa ini menjadi sorotan karena menunjukkan bahwa ormas dapat bertindak brutal dan terang-terangan melawan aparat negara. Kasus tersebut saat ini sedang ditangani oleh pihak kepolisian sebagai tindak pidana murni.

Tito menyatakan bahwa wacana revisi UU Ormas harus melalui proses legislasi yang sesuai dengan prosedur hukum. Pemerintah, kata dia, akan menyerahkan naskah usulan kepada DPR jika sudah siap. Setelah itu, pembahasan akan dilakukan secara terbuka bersama anggota legislatif dan masyarakat sipil.

“Kalau ada usulan dari pemerintah, ya diserahkan ke DPR. DPR yang membahas dan memutuskan,” kata Tito.

Di samping revisi undang-undang, Tito juga menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan ormas. Ia menegaskan bahwa aksi kekerasan tidak boleh dibiarkan dan harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.

“Kalau pidana ya otomatis harus ditindak. Proses pidana. Harus tegakkan hukum supaya stabilitas keamanan dijaga,” ujarnya.

Dengan adanya wacana revisi UU Ormas ini, pemerintah ingin menegaskan bahwa kebebasan berserikat bukanlah kebebasan absolut. Negara tetap memiliki kewajiban untuk menjaga stabilitas, ketertiban umum, dan mencegah lahirnya premanisme yang berlindung di balik atribut organisasi.