Bantah Beri JC untuk Nazaruddin, KPK Hanya Terbitkan Surat Keterangan Kerja Sama
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin (Foto Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah pernyataan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkuham) tentang pemberian status justice collaborator terhadap terpidana asimilasi Muhammad Nazaruddin.

Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri mengatakan, KPK hanya pernah menerbitkan surat keterangan kerja sama untuk Nazaruddin. 

"KPK pada 9 Juni dan 21 Juni 2017 menerbitkan surat keterangan bekerja sama untuk M. Nazaruddin karena yang bersangkutan sejak proses penyidikan, penuntutan, dan di persidangan telah mengungkap perkara korupsi," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 17 Juni.

Ali menjelaskan, ada beberapa perkara korupsi yang diungkap oleh Nazaruddin, yaitu kasus korupsi pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, perkara pengadaan KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan perkara gratifikasi serta pencucian uang yang menjerat mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Selain itu, surat keterangan kerja sama ini dikeluarkan KPK karena mantan Bendahara Umum Partai Demokrat telah membayar lunas denda ke kas negara. 

"Kami sampaikan kembali bahwa KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan  JC untuk MNZ," ungkapnya sambil menjelaskan surat itu diberikan setelah perkara yang menjerat Nazaruddin telah berkekuatan hukum tetap.

Terkait pemberian hak cuti menjelang bebas oleh Kemenkumham, Ali mengatakan, KPK sebenarnya beberapa kali telah menolak memberikan rekomendasi sebagai persyaratan asimilasi kerja sosial dan pembebasan bersyarat yang diajukan Ditjenpas Kemenkumham, Nazaruddin, dan pengacaranya.

Pengajuan ini, sambung dia, dilakukan pada Februari 2018, Oktober 2018 dan Oktober 2019.

"Oleh karenanya, KPK berharap pihak Ditjen Pemasyarakatan untuk lebih selektif dalam memberikan hak binaan terhadap napi koruptor mengingat dampak dahsyat dari korupsi yang merusak tatanan kehidupan masyarakat," tegasnya.

Diketahui, Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS Kemenkumham Rika Aprianti mengatakan, Nazarudin telah ditetapkan sebagai pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator.

"Narapidana atas nama Muhammad Nazaruddin telah ditetapkan sebagai pelaku yang bekerjasama (JC) oleh KPK berdasarkan Surat Nomor R-2250/55/06/2014 tanggal 09 Juni 2014 perihal surat keterangan atas nama Muhammad Nazaruddin, dan Surat Nomor R.2576/55/06/2017 tanggal 21 Juni 2017, perihal permohonan keterangan telah bekerja sama dengan penegak hukum atas nama Mohammad Nazaruddin," kata Rika.

Sebelumnya, Nazaruddin telah keluar dari LP Klas I Sukamiskin pada Minggu, 14 Juni. Pemberian cuti ini diberlakukan hingga selesainya masa tahanan pada 13 Agustus.

"Pada Minggu, 14 Juni 2020, Pukul 07.45 WIB dikeluarkan satu orang WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) atas nama M. Nazaruddin untuk melaksanakan Cuti Menjelang Bebas," kata Kadivpas Kanwil Kemkumham Jawa Barat, Abdul Aris dalam keterangannya, Selasa, 16 Juni.

Dasar dikeluarkan Nazaruddin dari lapas karena dia telah mengantongi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: PAS-738.PK.01.04.06 Tahun 2020 tertanggal 10 Juni 2020 tentang Cuti Menjelang Bebas.

Kilas balik kasus Nazaruddin

Nazaruddin merupakan terpidana dalam dua kasus korupsi. Pertama, dirinya terlibat dalam kasus pembangunan Wisma Atlet pada tahun 2011. Setelah dinyatakan sebagai tersangka, dia sempat buron dan lari ke luar negeri. 

Pelariannya pun berakhir di Cartagena, Kolombia. Selanjutnya, oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, dia kemudian divonis hukum empat tahun 10 bulan penjara dan denda Rp200 juta.

Dalam kasus tersebut, Nazar dinyatakan terbukti menerima suap Rp4,6 miliar dari Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah Mohammad El Idris lewat pegawai Permai Group, Yulianis dan Oktarina Fury. Dia dinilai punya andil memenangkan proyek sebesar Rp191 miliar di Kemenpora untuk PT Duta Graha Indah.

Nazar mengajukan banding. Namun, Mahkamah Agung justru memperberat hukuman Nazaruddin menjadi 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta. 

Sedangkan dalam kasus lainnya, politikus Partai Demokrat ini divonis bersalah menerima gratifikasi dari PT Duta Graha Indah dan Nindya Karya untuk proyek pendidikan dan kesehatan. Jumlah gratifikasi yang diterimanya mencapai Rp40,37 miliar.

Ketika itu, Nazar menjabat sebagai anggota Komisi I DPR RI, pengendali Anugerah Group yang tadinya memiliki nama Permai Group, dan Bendahara Umum Partai Demokrat. 

Dirinya juga divonis bersalah karena melakukan pencucian uang lewat pembelian saham. Akibat perbuatannya, Nazaruddin kemudian divonis enam tahun penjara. Sehingga total vonis penjara yang harus dilaluinya adalah 13 tahun.